Oleh: be sang pendaki | Maret 17, 2016

Manifestasi rindu untuk yang tersayang

Seiring akhir rinai hujan di 3019 meter di atas permukaan laut.
Dalam sendiri jelang senja, hanya berteman dingin merasuk tiap pori tubuh.
Mata hanya menatap ke depan, sang Agung tampak sangat dekat bermantelkan kabut,
menelan raksasa itu seperti ia menelanku dengan mudahnya
Hingga akhirnya hanya tertinggal tirai putih dan dingin yang makin mencekat.
Menuruni tiap jengkal tanah basah, serasa tangan ini kembali menggandeng lenganmu
namun kau tak ada, kau di sana di bawah hangat mentari.
Bentang Mandalawangi penuh indah, tersaji ribuan bunga abadi dalam kuncup-kuncupnya.
Makin menusuk hatiku dalam sadar bahwa kau tiada untuk mengaguminya.
Sayang, indah puncak perjalananku ini untukmu!
Aku cuma ingin membaginya denganmu, aku mau egois saja saat ini.
Kita lah pemilik kecantikan lembah dewa ini.
Tak ada yang lain, hujan sekalipun…
Namun semua tak usai, masih ada perjalanan yang harus kutuntaskan,
Meskipun itu semakin menyiksaku dalam rindu tertahan,
Seharusnya kau ada, untuk membagi kisah masa lalumu
untuk kurebut semua dan kujadikan masa depanku.
Suryakencana,
Di lembah ini, rasa cemburu dan kembali sepi mengerubungiku,
Seiring gemetar tubuh melawan dingin, anganku kembali menghadirkanmu
Lagi dan lagi, dalam kisah klise dan membosankan
Tentang seorang tua yang menanti matahari pagi.
Kau lah matahari itu kekasihku,
dan aku menanti bayangmu datang dan memelukku di sini.
Di antara lembah-lembah ini, aku terbunuh sunyi.
Sekali ini dalam hidupku, aku membenci kesunyian.


Tinggalkan komentar

Kategori